Senin, 06 Juni 2016

PERKEMBANGAN MORAL dan KEPRIBADIAN


PERKEMBANGAN MORAL dan KEPRIBADIAN
    A.    PERKEMBANGAN MORAL
Moral berkenaan dengan perilaku baik atau buruk pada seseorang. Pendidikan SD tidak sekedar bertujuan untuk menjadikan peserta didik menjadi manusia yang  cerdas, tetapi juga manusia yang baik. Pada bagian ini, Anda  akan mempelajari aspek perkembangan moral yang meliputi pembahasan mengenai pengertian dan manfaat mempelajari perkembangan moral anak, pola perkembangan moral menurut Kolhberg, serta faktor dan cara mempelajari sikap moral khususnya pada peserta didik usia SD/MI. Dalam mempelajari perkembangan moral, Anda dibantu dengan media video sehingga pembelajaran diharapkan menjadi lebih jelas dan terpahami dengan baik.
    1.      Pengertian dan Manfaat
Moral berasal dari kata Latin ”mores” yang berarti tatacara, kebiasaan, dan adat. Perilaku sikap moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, yang dikendalikan oleh konsep moral. Yang dimaksud dengan konsep moral ialah peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi angota suatu budaya. Konsep moral inilah yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok.  Menurut Piaget (Sinolungan, 1997), hakikat moralitas adalah kecenderungan menerima dan menaati sistem peraturan.
Selanjutnya, Kohlberg (Gunarsa, 1985) mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, tetapi sesuatu yang berkembang dan dapat diperkembangkan/dipelajari. Perkembangan moral merupakan proses internalisasi nilai/norma masyarakat sesuai dengan kematangan dan kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku dalam kehidupannya. Jadi, perkembangan moral mencakup aspek kognitif yaitu pengetahuan tentang baik/buruk atau benar/salah, dan aspek afektif yaitu sikap perilaku moral mengenai bagaimana cara pengetahuan moral itu dipraktekan.
Disamping perilaku moral, ada juga perilaku tak bermoral yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena sikap tidak setuju dengan standar sosial yang berlaku atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri; serta perilaku amoral atau nonmoral yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena ketidakacuhan atau pelanggaran terhadap standar kelompok sosial. Sikap adalah perilaku yang berisi pendapat tentang sesuatu. Dalam sikap positif tersirat sistem nilai yang dipercayai atau diyakini kebenarannya. Nilai adalah suatu yang diyakini, dipercaya, dan dirasakan serta diwujudkan dalam sikap atau perilaku. Biasanya, nilai bermuatan pengalaman emosional masa lalu yang mewarnai cita-cita seseorang, kelompok atau masyarakat.
Moral merupakan wujud absrak dari nilai-nilai, dan tampil secara nyata/konkret dalam perilaku terbuka yang dapat diamati. Sikap moral muncul dalam praktek moral dengan kategori positif/menerima, netral, atau negatif/menolak. Anak yang bersikap positif atau menerima nilai-nilai moral, diekspresikan dalam perilaku yang bersimpati dalam berinteraksi dengan nilai dan orang di sekitarnya, seperti mau menerima, mendukung, peduli, dan berpartisipasi dalam kegiatan kelompok. Sikap moral yang netral diekspresikan dalam perilaku sikap tidak memihak (mendukung atau menolak) terhadap nilai yang ada di masyarakat. Sikap moral yang negatif diekspresikan dalam perilaku menolak yang diwarnai emosi dan sikap negatif seperti kecewa, kesal, marah, benci, bermusuhan, dan menentang, terhadap nilai moral yang ada di masyarakat.
Pada sikap dan perilaku moral tersirat nilai-nilai yang dianut berkaitan dengan nilai mengenai sesuatu yang dikatakan baik dan benar, patut, dan seharusnya terjadi. Sikap moral sebagian besar diteruskan dari generasi ke generasi melalui proses pendidikan seumur hidup. Ada nilai-nilai yang perlu dipertahankan, ada yang diasimilasi ke arah kemajuan atau perubahan progresif, tetapi ada juga yang berubah atau bergeser karena berbagai faktor yang mempengaruhinya. Sebagai guru, Anda perlu memahami perkembangan sikap moral agar dapat membantu  peserta didik mengembangkan sikap moral yang dikehendaki, mendidik peserta didik menjadi anak yang baik, dan  bersikap moral  secara baik dan benar.
2.      Pola Perkembangan  Moral
Dalam mempelajari perkembangan sikap moral peserta didik usia sekolah, Piaget (Sinolungan, 1997) mengemukakan tiga tahap perkembangan moral sesuai dengan kajiannya pada aturan dalam permainan anak. 1. Fase absolut, di mana anak menghayati peraturan sebagai ssesuatu hal yang mutlak, tidak dapat diubah, karena berasal dari otoritas yang dihormati (orang tua, guru, anak yang lebih berkuasa). 2. Fase realistis, di mana anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan orang lain. Dalam permainan, anak menaati aturan yang disepakati bersama sebagai suatu kenyataan/realitas yang dapat diubah asal disetujui bersama. 3. Fase subjektif, di mana anak memperhatikan motif atau kesengajaan dalam penilaian perilaku, anak menaati aturan agar terhindar dari hukuman, kemudian memahami aturan dan gembira mengembangkan serta menerapkannya. Dalam teori perkembangan moralnya, Kohlberg (Gunarsa, 1985) mengemukakan tiga tingkat dengan enam tahap perkembangan moral.
a.       Tingkat 1: Prakonvensional. Pada tingkat ini aturan berisi ukuran moral yang dibuat berdasarkan otoritas. Anak tidak melanggar aturan moral karena takut ancaman atau hukuman dari otoritas. Tingkat ini dibagi menjadi dua tahap. Pertama, tahap orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman. Pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan itu ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Anak harus menurut, atau kalau tidak, akan mendapat hukuman. Kedua, tahap relativistik hedonisme. Pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung pada aturan yang berada di luar dirinya yang ditentukan orang lain yang memiliki otoritas. Anak mulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi yang bergantung pada kebutuhan (relativisme) dan kesenangan seseorang (hedonisme).
b.      Tingkat II: Konvensional. Pada tingkatan ini anak mematuhi aturan yang dibuat bersama agar diterima dalam kelompoknya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap. Pertama, tahap orientasi mengenai anak yang baik. Pada tahap ini anak mulai memperlihatkan orientasi perbuatan yang dapat  dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau masyarakat. Sesuatu dikatakan baik dan benar apabila sikap dan perilakunya dapat diterima orang lain atau masyarakat. Kedua, tahap mempertahan-kan norma sosial dan otoritas. Pada tahap ini anak menunjukkan perbuatan baik dan benar bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakat sekitarnya, tetapi juga bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan dan norma/nilai sosial yang ada sebagai kewajiban dan tanggung jawab moral untuk melaksanakan aturan yang ada.
c.       Tingkat III: Pasca-konvensional. Pada tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap.  Pertama,  tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada tahap ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial dan masyarakat. Seseorang mentaati aturan sebagai kewajiban dan tanggung jawab dirinya dalam menjaga keserasian hidup bermasyarakat. Kedua, tahap universal. Pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat subjektif, ada juga norma etik (baik/buruk, benar/salah) yang bersifat universal sebagai sumber menentukan sesuatu perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg seperti halnya Piaget menunjukkan bahwa sikap dan perilaku moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi juga terjadi sebagai akibat dari aktivitas spontan yang dipelajari dan berkembang melalui interaksi sosial anak dengan lingkungannya.  Selain teori perkembangan moral, dalam mempelajari pola perkembangan moral yang berkaitan dengan ketaatan akan suatu aturan yang berlaku universal, perlu dibahas mengenai disiplin. Disiplin berasal dari kata ”disciple” yang berarti seorang yang belajar dari/atau secara sukarela mengikuti seorang pemimpin. Disiplin diperlukan untuk membentuk perilaku yang sesuai dengan aturan dan peran yang ditetapkan dalam kelompok budaya tempat orang tersebut menjalani kehidupannya. Melalui disiplin, anak belajar untuk bersikap dan berperilaku yang baik seperti yang diharapkan oleh masyarakat lingkungannya.
Disiplin dapat ditanamkan secara otoriter melalui pengendali-an perilaku dengan menggunakan hukuman, secara permisif/laissezfaire melalui kebebas-an yang diberikan kepada anak tanpa adanya hukuman, atau secara demokratis melalui penjelasan, diskusi, dan penalaran mengenai aturan yang berlaku.  Unsur yang berkaitan dengan disiplin adalah sebagai berikut.
1. Peraturan sebagai pola yang ditetapkan untuk perilaku di mana anak hidup, mempunyai nilai pendidikan tentang arah yang harus diikuti dan ditaati anak, dan juga membantu mengekang perilaku  yang tidak diinginkan.
2. Hukuman diberlakukan apabila anak melakukan kesalahan ataupun bertindak yang tidak sesuai dengan nilai/norma yang berlaku dalam masyarakat. Hukuman dapat menghalangi anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak diinginkan, mendidik anak untuk belajar dari pengalaman, dan memotivasi anak untuk menghindari perilaku yang tidak diterima oleh masyarakat.
3. Penghargaan diberikan apabila anak melakukan sesuatu yang sesuai dengan norma/nilai yang berlaku, mendidik dan memotivasi anak untuk mengulangi perilaku yang baik dan benar sesuai harapan masyarakat.
4. Konsistensi atau keajegan dalam melaksanakan aturan dan disiplin sehingga tidak membingungkan anak dalam mempelajari sesuatu yang benar/salah atau baik/buruk. Disiplin bermanfaat apabila ada pengaruh disiplin terhadap perilaku, menimbulkan kepekaan akan sikap perilaku yang baik, benar, dan adil, serta mempengaruhi kepribadian anak di mana sikap perilaku disiplin merupakan bagian yang terinternali-sasi pada anak secara keseluruhan.
3. Faktor dan Cara Mempelajari Sikap Moral
Ada sejumlah faktor penting yang mempengaruhi perkembangan moral anak (Hurlock, 1990).  1. Peran hati nurani atau kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan salah apabila anak dihadapkan pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan atas tindakan yang harus dilakukan. 2. Peran rasa bersalah dan rasa malu apabila bersikap dan berperilaku tidak seperti yang diharapkan dan melanggar aturan. 3. Peran interaksi sosial dalam memberi kesempatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan standar perilaku yang disetujui dalam masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan dengan orang lain.
Sikap dan perilaku moral dapat dipelajari dengan cara berikut.
1. Belajar melalui coba-ralat (trial and error). Anak mencoba belajar mengetahui apakah perilakunya sudah memenuhi standar sosial dan persetujuan sosial atau belum. Bila belum, maka anak dapat mencoba lagi sampai suatu ketika secara kebetulan dapat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan.
2. Pendidikan langsung yang dilakukan dengan cara anak belajar memberi reaksi tertentu secara tepat dalam situasi tertentu, serta dilakukan dengan cara mematuhi peraturan yang berlaku dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat sekitar.
3. Identifkasi dengan orang yang dikaguminya. Cara ini biasanya dilakukan secara tidak sadar dan tanpa tekanan dari orang lain. Yang penting ada teladan dari orang yang diidentifikasikan untuk ditiru perilakunya.
Pendidikan saat ini umumnya mempersiapkan peserta didik memiliki banyak pengetahuan, tetapi tidak tahu cara memecahkan masalah tertentu yang dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Pendidikan lebih mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anak yang pandai dan cerdas, tetapi kurang mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anak yang baik. Masalah berkenaan dengan baik dan buruk menjadi kajian bidang moral. Demikian juga dalam mengembangkan aspek moral peserta didik berarti bagaimana cara membantu peserta didik untuk menjadi anak yang baik, yang mengetahui dan berperilaku atau bersikap berbuat yang baik dan benar. Sikap dan perilaku moral dapat dikembangkan melalui pendidikan dan penanaman nilai/norma yang dilakukan secara terintegrasi dalam pelajaran maupun kegiatan yang dilakukan anak di keluarga dan sekolah. Pendidikan bukan hanya mempesiapkan anak menjadi manusia cerdas, tetapi juga menjadi manusia yang baik, berbudi luhur, dan berguna bagi orang lain.  



B.     PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Kepribadian merupakan suatu kesatuan psikofisik yang bersifat dinamis dan menjadi karakteristik yang melekat pada seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Perkembangan kepribadian merupakan topik yang akan kita kaji pada subunit 4  ini, dan sekaligus menjadi bagian akhir dari pembahasan mengenai aspek-aspek perkembangan peserta didik. Pada subunit ini, Anda  akan mempelajari pengertian kepribadian, termasuk  konsep diri, teori mengenai bermacam tipe kepribadian, faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian, dan kesehatan mental pada peserta didik didik usia SD/MI.
1.      Pengertian Kepribadian
Istilah kepribadian atau personality  berasal dari kata Latin ”persona” yang berarti topeng. Pada bangsa Yunani kuno, para aktor memakai topeng untuk menyembunyikan identitas mereka dan memungkinkan mereka memerankan tokoh dalam drama. Demikian juga pada bangsa Roma, ”persona” berarti bagaimana seseorang tampak pada orang lain. 
Dalam kehidupan sehari-hari terdapat beberapa  penggunaan istilah kepribadian. Diantaranya, kepribadian sebagai sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki seseorang; kepribadian merupakan pengaruh seseorang terhadap orang lain; ada kepribadian yang menarik dan yang membosankan; kepribadian semata-mata faktor jasmaniah atau semata-mata hasil dari kebudayaan dan kepribadian merupakan sejumlah sifat seseorang.    
Memang cukup banyak pengertian dan pengunaan istilah kepribadian. Saat ini definisi pengertian kepribadian  kebanyakan mengikuti definisi yang dikemukakan oleh Allport (Sukmadinata, 2003). Menurut Allport ”personality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical systems that determine his unique adjustment with the enviroment.”  Kepribadian merupakan suatu organisasi yang merujuk kepada suatu kondisi atau keadaan yang kompleks dan mengandung banyak aspek.
Kepribadian bersifat dinamis,  tidak statis, melainkan berkembang secara terbuka sehingga manusia senantiasa berada dalam kondisi perubahan dan perkembangan. Kepribadian meliputi aspek fisik dan psikis yang saling mempengaruhi dan membentuk satu kesatuan. Kepribadian selalu dalam penyesuaian diri yang unik dengan lingkungannya dan berkembang bersama-sama dengan lingkungannya, serta menentukan jenis penyesuaian yang akan dilakukan anak, karena tiap anak mempunyai pengalaman belajar yang berbeda satu dengan lainnya.
Dalam perkembangan kepribadian, konsep diri dan sifat-sifat seseorang merupakan hal atau komponen penting. Konsep diri merupakan konsep, persepsi, maupun gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri, atau sebagai bayangan dari cermin diri. Konsep diri seseorang dipengaruhi dan ditentukan oleh peran dan hubungan-nya dengan orang lain, serta reaksi orang lain terhadap dirinya. Konsep diri ideal merupakan gambaran seseorang mengenai penampilan dan kepribadian yang didambakannya. 
Setiap konsep diri mempunyai aspek fisik dan psikis. Aspek fisik konsep diri merupakan konsep yang dimiliki seseorang berkenaan dengan penampilannya, dan kesesuaiannya dengan peran seks yang disandangnya. Aspek psikis berkenaan dengan kemampuan dan ketidakmampuan dirinya, harga diri, dan hubungannya dengan orang lain. Sifat merupakan kualitas perilaku atau pola penyesuaian yang spesifik. Misalnya,   reaksi seseorang terhadap masalah dan frustrasi, perilaku agresif dan defensif, perilaku terbuka dan tertutup ketika berinteraksi dengan orang lain. Ciri sifat tersebut ada yang terpisah dan ada yang terintegrasi dengan konsep diri. Sifat juga mempunyai dua ciri menonjol yaitu: (1) individualitas yang diperlihatkan dalam kuantitas ciri tertentu dan bukan kekhasan ciri bagi orang lain; serta (2) konsistensi yang berarti seseorang bersikap dengan cara yang hampir sama dalam situasi dan kondisi yang serupa. Konsep diri merupakan inti kepribadian yang mempengaruhi berbagai sifat yang menjadi ciri khas kepribadian seseorang.
2.      Macam Tipe Kepribadian
Walaupun setiap orang/anak memiliki kepribadian tersendiri, namun para ahli tetap berusaha untuk menyederhanakan dan mengelompokan sifat-sifat yang memiliki beberapa kesamaan. Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa macam tipologi kepribadian. Tipologi kepribadian yang tertua bersifat jasmaniah atau fisik seperti  dikemukakan oleh Hippocrates dan Galenus, yang mengembangkan tipologi kepribadian berdasarkan cairan tubuh yang menentukan temperamen seseorang. Menurut mereka ada empat macam kepribadian.
a.       Tipe kepribadian choleric (empedu kuning), yang dicirikan dengan pemilikan temperaman cepat marah, mudah tersinggung, dan tidak sabar.
b.      Tipe melacholic (empedu hitam), yang berkaitan dengan pemilikan temperamen pemurung, pesimis, mudah sedih dan mudah putus asa.
c.       Tipe phlegmatic (lendir), yang bertemperamen yang serba lamban, pasif, malas, dan kadang apatis/masabodoh.
d.      Tipe sanguinis (darah), yang memiliki temperamen dan sifat periang, aktif, dinamis, dan cekatan.  
Tipologi yang dibuat Kretchmer dan Sheldon juga bersifat jasmaniah, yakni bentuk tubuh. Mereka membagi tipe kepribadian atas tiga macam.
a. Tipe asthenicus atau ectomorphic pada orang-orang yang  bertubuh tinggi kurus, memiliki sifat dan kemampuan berpikir abstrak dan kritis, tetapi suka melamun dan sensitif.
b. Tipe pycknicus atau endomorph pada orang yang bertubuh gemuk pendek, memiliki sifat periang, suka humor, populer dan mempunyai hubungan sosial luas, banyak teman, dan suka makan.
c. Tipe athleticus atau mesomorphic pada orang yang bertubuh sedang/atletis, memiliki sifat senang pada pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik, pemberani, agresif, mudah menyesuaikan diri).  
Namun demikian, dalam kenyataannya lebih banyak manusia dengan tipe campuran (dysplastic). Tipologi kepribadian yang bersifat psikis di antaranya dikemukakan oleh Jung, yang mengelompokan kepribadian berdasarkan kecenderungan hubungan sosial seseorang. Ia membagi kepribadian ke dalam dua tipe, yaitu: (1) tipe ekstrovert yang  perhatiannya lebih banyak tertuju ke luar, dan (2) tipe introvert yang perhatiannya lebih tertuju ke dalam dirinya, dan dikuasai oleh nilai-nilai subjektif. Tetapi, umumnya manusia mempunyai tipe campuran atau kombinasi antara ekstrovert dan introvert yang disebut ambivert. Spranger mengemukakan tipologi kepribadian berdasarkan kecenderungan seseorang akan nilai-nilai dalam kehidupan. Menurutnya ada enam tipe kepribadian yaitu: tipe teoretik, economi, aestetic,  sociatic, politic dan religius. Sementara itu, Erich Fromm membagi dua tipe kepribadian manusia yaitu: (1) tipe  berorientasi produktif, yang memiliki pandangan realistis dan mampu melihat segala sesuatu dengan kelebihan dan kekurangannya, serta mengatasi masalah dengan kerjasama dengan orang lain; serta (2) tipe berorientasi tidak produktif, yang mengambil bentuk menjadi tipe penerima (reseptif), pemeras (eksploitasi), tertutup, dan  pribadi pasar yang melihat kekuatan ada di dalam dirinya dan memanfaatkannya dengan memasarkan apa yang dimilikinya sesuai  dengan kebutuhan pasar.
Pada periode anak sekolah, kepribadian anak belum terbentuk sepenuhnya seperti pada orang dewasa. Kepribadian mereka masih dalam proses pengembangan. Namun demikian, karakteristik anak secara sederhana dapat dikelompokan atas: (1) kelompok anak yang mudah dan menyenangkan, (2) anak yang biasa-biasa saja, dan (3) anak yang sulit dalam penyesuaian diri dan sosial, khsususnya dalam melakukan kegiatan pembelajaran di sekolah.  
3.      Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kepribadian
Studi mengenai perkembangan pola kepribadian mengungkapkan bahwa ada tiga faktor yang menentukan perkembangan kepribadian sesorang termasuk peserta didik usia SD/MI.
1. Faktor bawaan, termasuk sifat-sifat yang diturunkan secara genetik dari orang tua kepada anaknya, misalnya sifat sabar anak dikarenakan orang tuanya juga memiliki sifat sabar. Demikian juga, wawasn sosial anak dipengaruhi oleh tingkat kecerdasannya
2. Pengalaman awal dalam lingkungan keluarga ketika anak masih kecil. Pengalaman itu membentuk konsep diri primer yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak dalam mengadakan penyesuaian diri dan sosial pada perkembangan kepribadian periode selanjutnya. 
3. Pengalaman kehidupan selanjutnya dapat memperkuat konsep diri dan dasar kepribadian yang sudah ada, atau karena pengalaman yang sangat kuat sehingga mengubah konsep diri dan sifat-sifat  yang sudah terbentuk pada diri seseorang.  
Pada perkembangan kepribadian anak, tidak ada kepribadian dan sifat-sifat anak yang benar-benar sama. Tiap anak adalah individu yang unik dan mempunyai pengalaman belajar dalam penyesuaian diri dan sosial yang berbeda secara pribadi. Selain itu, hal penting dalam perkembangan kepribadian adalah persistensi atau ketetapan dalam pola kepribadian. Artinya, terdapat kecenderungan bagi beberapa ciri sifat kerpibadian yang menetap dan relatif tidak berubah sehingga mewarnai perilaku seseorang secara khusus. Persistensi dapat disebabkan oleh kondisi bawaan anak, pendidikan yang dialami/ diterima anak, nilai-nilai orang tua dan lingkungan kelompok teman sebaya, serta peran dan pilihan anak ketika berinteraksi dengan lingkungan sosial. 
Persistensi diperlukan karena dapat menjadi landasan yang kuat, yang dapat menjamin penyesuaian anak. Mereka dapat segera mengetahui dan bertindak dengan cepat dan tepat apabila ada perkembangan kepribadian yang agak menyimpang. Perubahan dapat saja terjadi karena perubahan fisik yang pesat, perubahan lingkungan dan tekanan sosial, tuntutan  kehidupan, perubahan peran, serta bantuan profesional untuk mengubah konsep diri yang negatif dan merugikan. 
Sehubungan dengan perkembangan kepribadian, perlu dijaga dan dikondisikan agar terbangun mental yang sehat. Kesehatan mental memiliki tiga komponen utama.
1. Memiliki rasa diri berharga sebagai landasan bagi penerimaan diri dan bekal untuk menerima orang lain, serta mendapat gambaran dirinya secara positif sehingga dapat menggunakan kemampuan dan kecakapannya untuk dirinya sendiri dan orang lain.
2. Merasa puas akan perannya dalam kehidupan di keluarga, sekolah, dan masyarakat sehingga ia merasa diterima  dan puas dengan perannya tersebut.
3. Terjalin hubungan yang baik dengan orang lain sehingga dapat bekerja sama.  
Kesehatan mental seseorang hampir seluruhnya tercipta berkat interaksinya dengan lingkungan di sekitar anak. Namun, ketidaksehatan mental mungkin berawal dari individu anak ataupun lingkungannya. Agar tercipta kesehatan mental, perlu diciptakan lingkungan sosio-psikologis yang sehat dan wajar, menciptakan interaksi dengan anak yang didasari kasih sayang dan penghargan anak sebagai individu, memelihara kesehatan fisik anak sehingga dapat mengikuti berbagai aktivitas belajar dan bermain, menciptakan dan memotivasi anak untuk melakukan berbagai kegiatan yang sesuai dengan usia,  minat dan bakatnya.  Lingkungan yang sehat bukan saja akan menularkan kesehatan mental, tetapi juga menjadi contoh bagi anak-anak untuk hidup dan berkembang secara sehat.  



RANGKUMAN
Moral berarti perilaku yang sesuai dengan peraturan perilaku mengenai baik/buruk, benar/salah yang telah menjadi kebiasaan dan harapan suatu masyarakat. Mempelajari perkembangan moral bermanfaat untuk membantu peserta didik mengembangkan sikap moral yang dikehendaki, serta mendidiknya menjadi anak yang baik dan bersikap moral baik dan benar. 
Perkembangan moral menurut Kohlberg ada tiga tingkat dengan enam tahap yaitu tingkat praoperasional dengan tahap orientasi pada kepatuhan/hukuman dan relativistik, tahap konvensional dengan tahap orientasi mengenai anak baik dan mempertahankan norma sosial/otoritas, serta tingkat paska konvensional dengan tahap orientasi perjanjian diri dengan lingkungan dan tahap universal. 
Faktor yang mempengarahi perkembangan moral antara lain: peran hati nurani, peran rasa malu dan bersalah, peran interaksi sosial. Sikap dan perilaku moral dapat dipelajari dengan cara coba dan ralat, pendidikan langsung, identifikasi.
Kepribadian merupakan suatu organisasi psikofisik yang dinamis ketika individu berinteraksi dan melakukan penyesuaian  dengan lingkungannya. Pada kepribadian melekat sifat atau temperamen sebagai kualitas perilaku atau pola penyesuain yang spesifik pada diri seseorang. Di dalam kepribadian juga terdapat konsep diri, yaitu persepsi/gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri, dan menjadi inti kepribadian karena menentukan sikap seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Ada konsep diri ideal yaitu konsep diri yang didambakan, konsep diri primer yang terbentuk ketika masih kecil. 
Tipologi kepribadian dapat dikelompokkan atas: (1) tipologi yang bersifat fisik seperti tipe choleric-melancholic-phlegmatic-sanguinis, asthenicus-pycknicus-athleticus, ectomorf- endomorf-mesomorf; serta (2) tipologi yang bersifat psikis seperti tipe ekstrovert-introvert, dan berorientasi produktif-tidak produktif. 
Faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian antara lain: kepercayaan diri berharga, kepuasan akan perannya, hubungan dengan  orang lain. 
Kesehatan mental perlu diciptakan melalui penciptaan lingkungan sosialpsikologis yang kondusif agar kepribadian anak secara keseluruhan berkembang secara sehat dan wajar.



DAFTAR PUSTAKA
Kurnia Inggridwati, dkk, 2008. Perkembangan Belajar Peserta Didik. Jakarta : DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


0 komentar:

Posting Komentar